![]() |
Jam di ponsel saya masih menunjukan pukul 03.00 pagi. Ini masih terlalu awal untuk bangun, tapi saya dan rekan lainnya sudah terjaga dan bersiap untuk berangkat. Berat rasanya untuk mandi, karena udara dingin menusuk tulang. Saya pun memutuskan untuk sekedar cuci muka dan gosok gigi. Hmm... Setidaknya orang tidak akan terganggu saat berdiri di dekat saya karena aroma tubuh yang kurang sedap,hehe.
Sebuah mobil Daihatsu keluaran lama sudah menunggu kami di luar wisma tempat kami menginap. Pintunya reot, saya sedikit skeptis dengan kemampuan mobil itu untuk membawa kami ke tujuan. Saya memilih duduk di sebelah supir. Susah payah saya menutup pintu reot itu, ternyata pintunya memang rusak, sehingga saya harus menyelotnya dengan selot pintu dari dalam (gubrak!).
Perjalanan kami cukup memakan waktu, saya tidak terlalu memperhatikan berapa lama perjalanan kami, karena jam biologis saya tidak bisa berkompromi. Saya tak bisa menahan kantuk dan tertidur selama perjalanan. Deru kencang mobil Daihatsu tua membangunkan saya. Ia sedang mencoba menanjak di sebuah jalan yang terjal. Saya perhatikan jalan di samping mobil yang saya tumpangi, hanya tampak pepohonan jarang dan sayup lampu-lampu kendaraan yang mengikuti di belakang kami. Saat itu memang masih terlalu gelap untuk melihat dengan jelas.
Tak berapa lama, mobil tua itu pun berhenti. Ia pun tak sanggup menanjak lagi. Pak supir meminta kami untuk turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Cukup berat langkah ini, karena campuran antara udara dingin menusuk tulang, jalan terjal yang menghadang dan rasa kantuk yang tak tertahankan. Di kanan kiri sepanjang jalan kami, tampak pedagang-pedagang menjajakan berbagai panganan; pisang rebus, kopi hitam dan tentu saja pop mie panas sebagai andalan. Ada juga yang menjajakan kupluk dan sarung tangan, barangkali ada yang lupa untuk membawanya. Lumayan untuk menahan dingin, meskipun perlu dipakai sampai dua lapisan.
Sampai di puncak, saya menemui kondisi yang sangat berbeda. Di atas sini orang sudah ramai berkumpul. Saya pun heran, apa yang mendorong orang sebanyak ini untuk datang (padahal saya salah satu dari mereka,hehe). Handphone sudah siap di tangan, kalau yang lebih bermodal akan membawa kamera DSLR berharga jutaan. Saya dan rekan saya langsung mencari tempat, agar tidak melewatkan momen yang kami nantikan. Tak lama semburat berwarna jingga pun mulai tampak. Semua orang melihat ke satu arah yang sama, mereka menunjukan ekspresi yang serupa, kagum bercampur gembira. Sebagian mengabadikan momen tersebut dengan kameranya. Napas saya pun terasa terhenti, Subhanallah... Pemandangan yang biasanya hanya bisa saya nikmati di kalender, sekarang tersaji langsung di depan mata saya.
![]() |
Semburat jingga menandakan hadirnya bola api di ufuk timur yang membuat setiap orang yang melihatnya menahan napas karena begitu kagum |
Perlahan saya pun mulai dapat melihat pemandangan di depan saya. Hamparan pasir berwarna abu-abu kehitaman dan gunung berkawah yang tampak kecil di kejauhan sedang mengeluarkan kepulan asap. Akhirnya saya sampai juga di sini, kawasan gunung Bromo. Hamparan lembah dan ngarai dengan kaldera yang terhampar kini memanjakan mata saya. Para penonton besorak mengangumi karya agung Sang Pencipta. Perjuangan sejak pagi-pagi buta benar-benar terbayar. Karena pemandangan semacam ini mungkin bukan hal yang dapat dinikmati tiap hari. Saya puaskan mata saya memandang, saya biarkan kulit saya merasakan hembusan angin dingin yang bertiup di sela savana dan saya nikmati aroma pasir basah dengan menghidu sesukanya.
![]() |
Kawasan Gunung Bromo terletak di empat wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang |
Puas menatap pemandangan, saya pun melanjutkan perjalanan, tetap dengan si daihatsu tua. Menyusuri hamparan pasir bak lautan. Sampai kami tiba di kaki gunung Bromo, saya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Gunung Bromo, yang namanya diambil dari kata Brahma, salah satu dewa utama dalam kepercayaan Hindu, tampak berdiri agung di depan saya. Gunung dengan ketinggian 2.329 meter di atas permukaan laut ini semula membuat ciut nyali saya. Apalagi ditambah dengan bau kurang sedap dari kuda yang lewat dan buang hajat sembarangan. Akankah saya mampu mendakinya sampai ke puncak?
Namun, sayang rasanya jika saya tidak menyempatkan diri ke puncak. Dengan sisa napas yang ada, saya pun berusaha untuk naik ke puncak. Setelah mendaki dengan terengah-engah, akhirnya saya menginjakan kaki di bibir kawah. Saya pun penasaran dan naik ke sana. Ada tangga yang disediakan untuk para wisatawan yang ingin menikmati pemandangan kawah Bromo dari dekat. Sekarang hamparan lautan pasir tampak di belakang saya dan di depan, terlihat lengkungan raksasa dengan asap tebal keluar dari celah-celah bebatuannya. Gunung ini gunung stratovolcano yang masih aktif. Terbentuk dari lava dan debu yang mengeras, gunung ini mengeluarkan kepulan asap bagai raksasa tidur. Nuansa mistis terasa dengan hamparan bunga dan sajen yang dilemparkan warga di sekitar kawah. Bagi suku Tengger, gunung Bromo merupakan gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger akan mengadakan upacara Kasodo, yaitu upacara untuk memberikan persembahan kepada Sang Pencipta setiap bulan Kasada hari ke -14 pada penanggalan Jawa.
![]() |
Asap yang keluar dari lubang kawah Gunung Bromo seolah menunjukan bahwa raksasa ini sedang tertidur dan dapat terbangun sewaktu-waktu |
Selesai mengagumi gunung Bromo dari dekat, kami pun melanjutkan perjalan. Kali ini kami dibawa si daihatsu tua ke bukit Teletubies. Lucu sekali namanya, pikir saya. Seperti nama sebuah acara anak-anak keluaran rumah produksi Inggris dengan empat tokoh boneka berwarna warni, Tinky winky, Dipsy, Lala dan Po. Sepintas bukit ini memang tampak seperti latar rumah milik keempat boneka warna warni tersebut. Berbentuk undakan-undakan yang diselimuti oleh rerumputan.
![]() |
Hamparan rumput di bukit teletubies mengingatkan saya pada acara anak-anak di tahun 2000an |
Kami puaskan mata kami sampai matahari meninggi. Kini tampak jelas keindahan panorama gunung Bromo di kejauhan. Hamparan pasir hitam dan padang rumput savana melengkapi keindahannya bak perhiasan di atas pakaian yang mewah. Bangun pagi-pagi buta sungguh bukan harga yang seberapa. Mungkin saya akan kembali lagi nanti, untuk mencicipi kedua, ketiga atau kesekian lainnya. Karena tempat ini tak akan pernah membosankan untuk dinikmati.
Saya ingin sekali lebih banyak orang yang tahu keindahan tempat ini. Perjalanan saya ke Kawasan Gunung Bromo menyadarkan saya tentang beruntungnya saya menjadi bagian dari Indonesia. Saya berdiri di tanah yang kaya, kaya sumber daya alamnya, kaya budayanya dan kaya panoramanya. This is our Wonderful Indonesia!
![]() |
sumber: www.indonesia.travel |
Ingin membagikan keindahan bumi Indonesia di bagian lain yang tak kalah kaya? Yuk, ikut
serta dalam blog competition Wonderful Indonesia! Untuk informasi lebih lanjut
silahkan klik di sini ya!
Sumber foto:
Dokumentasi pribadi
Masih tetep cantik ya sampe sekarang...been there before, almost 9 years ago, just after got married...love bromo so much. Hope will be there someday with my hubby and kiddos...thank you for sharing
BalasHapusWah...belum berani iiih naik sampai puncak gunung Bromo. Ternyata bagus bangeeet.
BalasHapusIndonesia memang kayak akan obyek wisata. Engga perlu ke luar negeri deh...
Perjuangan bener kalau ke Bromo ya, Mbak. Apalagi saya orang pesisir, terbiasa panas. Saya tak berani mandi waktu itu. Tapi alhamdulillah bisa menyaksikan matahari terbit dan melihat kawah di puncak.
BalasHapusbirimoooooooo aku rindu. ..
BalasHapussemenjak nikah aku blom pernah kesini lagi.. pengen ya Allah
Belum kesampaian ke Bromo. Terpesona akan keindahan Bromo. Semoga suatu saat nanti bisa ke sana.
BalasHapusApril 2017 saya roadtrip Jakarta-Bromo. Hari pertama masuknya lewat Probolinggo. Belum puas besoknya masuk dari Malang-Poncokusumo. Nah hari kedua ini jalur & pemandangannya lebih asik menurut saya. Belum sempet nulis di blog saya...hehe..tapi tulisan ini jadi bikin kenangan itu kembali....makasih Mba
BalasHapusBisa menyaksikan sunrise di Bromo itu anugerah sekali, Mbak. Biasanya yg udah pernah ke sana jadi ketagihan krn panoramanya emang cantik sekali :-)
BalasHapusAkkkkk bromooooo, belum kesampaian ini sampai kesanaa, Insyaa Allah 2019 ❤️
BalasHapusCantik sekali tuh semburat jingganya. Melihatnya di awal pagi pasti sesuatu yang sangat bermakna. Menikmatinya seakan membawa energi positif tuk beraltivitas setiap hari
BalasHapusIndaaah banget mbaak yaa, selalu rindu pesona matahari terbit yang begitu istimewaa. Semburat jingga yang selalu membawa energi positif dan harapan baik :)
BalasHapus