Tulisan ini adalah versi panjang dari caption instagram saya beberapa waktu lalu. Karena ternyata kegalauan saya sebagi ibu belum berakhir meski sudah curhat di sosmed. Kejadian kakak mengompol di karpet waktu itu menjadi titik balik hubungan saya dan kakak. Saya mulai menata kembali bagaimana cara saya memperlakukan kakak.
The Drama....
Drama kakak mengompol di karpet semalam menyadarkan saya kalau menjadi orang tua yang adil itu ternyata susaaah banget. Lho, Apa hubungannya?
Saya ceritakan dulu penyebab kakak bisa sampai ngompol nih Moms... Kakak itu sudah lama lulus toilet training. Bahkan saat tidur pun, kakak sudah enggak pakai pampers lagi. Tapi semalam, rupanya acara TV sedang terlalu menarik untuk dilewatkan. Akhirnya si kakak pun kelepasan ngompol karena hasrat ingin pipisnya enggak segera ditunaikan.
Semalam itu jam setengah 9 malam, saya sudah siap gegoleran sambil menunggu paksu pulang. Saya akhirnya harus menghadapi kenyataan bahwa "waktu bekerja" saya belum usai. Saya masih harus cuci karpet yang basah kuyup kena pipis. Ditambah Bogor yang dua minggu ini selalu diguyur hujan dan kenyataan mertua mau datang di akhir pekan.
Saya kesal sekali sama kakak, rasanya saya ingin melepaskan kemarahan pada kakak. Tapi akhirnya saya memilih untuk diam, karena saya khawatir salah bersikap padanya. Tapi setelah marah saya mereda, saya pun jadi berpikir. Sebenarnya saya bukan marah karena kakak mengompol. Sebab perkara kakak ngeberantakin atau ngotorin rumah itu sudah jadi hal yang biasa banget buat saya. Saya sebetulnya merasa enggak becus jadi ibu, karena membiarkan kakak nonton TV sendirian, sedang saya sibuk mengurus urusan diri saya di kamar. Ya... Saya merasa bersalah pada kakak.
Kakak itu anak yang sangat mandiri. Makan, minum, buka dan pakai baju bahkan istinja sudah bisa ia lakukan sendiri. Rupanya kemandirian kakak melenakan saya. Sering kali saya lebih fokus ke adiknya atau bahkan ke diri saya sendiri. Awalnya saya memang ingin mengajarkan kemandirian pada kakak, tapi ternyata kemudahan yang saya terima, membuat saya melupakan kebutuhan kakak sebagi seorang balita.
Memiliki anak lebih dari satu itu susah sekali. Bukan perkara perkelahian karena berebut mainan antar saudara, tapi bagaimana kita sebagai orang tua bisa membagi kasih sayang sama besarnya, mengkuadratkan cinta, bukan membaginya jadi dua. Cinta yang dimaksud adalah mengurus anak-anak sama dengan segenap jiwa. Bukan melonggarkan idealisme pada yang satu agar mudah mengurus yang lainnya. Kakak enggak pernah marah ketika saya fokus mengurus adik, ia selalu memberi ruang bagi saya untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga. Tapi kakak enggak akan membiarkan saya gegoleran pegang handphone sambil santai. Lho, kok tega sama umminya? Bukan... Ia bukan tega. Tapi saat itulah satu-satunya ruang bagi kakak untuk mendapatkan perhatian penuh dari saya, yang sayang sekali, terkadang masih harus terbagi.
Prioritas Itu Berarti yang Utama, Apa Prioritas Kita?
Fethullah Gülen dalam bukunya "Dari Benih ke Pohon Cedar" mengatakan, bahwa sesungguhnya anak adalah amanah dari Allah dan dalam rangka menjaga amanah dariNya, maka seharusnya tugas sebagai orang tua lebih dikedepankan dari pada tugas lainnya, semisal mengembangkan diri sendiri. Bukan berarti orang tua dilarang untuk punya kepentingan sendiri sih, tapi ini menunjukan betapa pentingnya menjalani peran sebagai orang tua dengan kesungguhan.
Banyak yang justru menempatkan prioritas dalam urutan yang salah, mengedepankan karir dan pengembangan prestasi pribadi, tapi lupa bahwa sesungguhnya ia bekerja untuk keluarga. Mungkinkah alasan bekerja untuk keluarga hanyalah sebuah dalih untuk membuat kita dapat bergerak leluasa?
![]() |
Mengedepankan hal yang lebih membawa maslahat itu lebih utama dibanding yang hanya menguntungkan diri sendiri |
Saya tuh merasakan sekali, betapa kebebasan saya terenggut setelah punya anak. Jangankan untuk bekerja, mau buang air saja tak semudah itu fergusso! Tapi justru di situ letak ibadahnya mungkin. Bukan seberapa keras kita mengurus anak-anak, atau seluas apa pengorbanan kita, tapi seberapa ikhlas kita dalam menjalankan peran itu. Bisa jadi segala kerja keras kita hanyalah omong kosong dan sia-sia karena kita enggak ikhlas. Naudzubillah....
Menata Kembali Peran Kita
Kembali lagi ke cerita si kakak, selepas drama ngompol di karpet, hubungan saya dan kakak pun berubah, atau lebih tepatnya cara saya menentukan prioritas saya yang berubah. Jika sebelumnya saya menganggap kakak sudah cukup mandiri untuk ditinggal-tinggal sementara saya sibuk aktualisasi, kini saya lebih tahu diri. Ibarat hukum pareto, saya memilih menggarap sesuatu yang lebih "bernilai" bagi saya dibandingkan dengan yang nilai pahalanya sedikit. Karena peran utama saya sekarang ini adalah seorang ibu yang waktu dan tenaganya masih harus total didedikasikan pada suami dan anak-anak, maka saya jadikan mayoritas aktivitas saya mengejar pahala dari peran utama saya tersebut.
Lalu, apakah saya berhenti berusaha mengaktualisasikan diri? Tentunya tidak. Saya masih tetap berusaha menjalankan hobi dan mengejar prestasi di bidang menulis yang saya sukai. Tapi saya yang sekarang akan lebih menyelami, bahwa torehan pengalaman indah bersama anak-anak lebih bermakna dari sekadar piagam penghargaan atau like di sosial media.
![]() |
My priority, today and tomorrow |
Punya anak satu saja begitu sulit mengurusnya, ini ditambah satu anak lagi dan masih mau mendua dengan pekerjaan lainnya, siapa yang mau dikedepankan, diri sendiri atau keluarga? Bukankah usaha kita untuk membahagiakan keluarga, atau jangan-jangan hanya untuk memenuhi ego semata? Nanti akan tiba waktunya, saat anak-anak mengejar asa mereka sendiri dan kita, para ibu, punya waktu untuk mengurus diri. Toh enggak ada waktu terlambat, banyak teman saya yang tetap bersinar di usia yang tak lagi muda. Bahkan cahayanya justru menjadi terang dan menginspirasi banyak orang. Sabar dan ikhlas, mungkin itu ujian terbesar bagi seorang ibu dalam menjalani perannya. Bukan cucian numpuk, anak rewel atau pekerjaan rumah yang tiada habisnya.
Curhatan panjang kali lebar ini dipersembahkan sebagai pengingat bagi diri sendiri, tapi semoga bisa diambil hikmahnya dan memberi inspirasi. :)
terima kasih mba, tulisanya sbg pengingat juga bagi saya yg juga lagi rempong ngurus dua balita.
BalasHapusWah... Senasib kita ya bun... Tos! Semoga kita semua bisa menjaga dan memperlakukan semua anak-anak kita dengan baik dan adil. Aamiin....
HapusBaca tulisan ini jadi ngerasa ga sendiri... Apalagi bagian kebebasan diri terenggut padahal sangat ingin aktualisasi diri, tapi balik lagi ke prioritas utama sekarang. Harus ikhlas toh mereka ga selamanya kecil.. Salam kenal mbak 😊
BalasHapusBetul mbak... Akan ada waktunya. Beberapa ibu yang anaknya sudah mentas juga menasihati saya. Jalani hari ini sebaik-baiknya, insya allah akan ada waktunya ketika bintang kita sendiri akan bersinar terang,hehe
HapusSetuju mom, sabar dan ikhlas itu kuncinya. Aku selama ini juga kadang ngerasa masih enggak sabaran karena anakku tipikal yang slow to warm up. Kudu pelan-pelan banget kalau mau ngajarin sesuatu, enggak bisa dipaksakan. Ini baru bisa tidur sendiri sudah bangga, ternyata buah dari kesabaran ada juga ya hehe. Next harus bisa mandi sendiri dan makan sendiri biar kayak kakak. :)
BalasHapusSetuju... Kunci jadi orang tua itu sabar. Seberapa canggih pun ilmu parenting, kalau enggak sabar, semuanya bubar ya Moms....
Hapus