Berapa banyak dari moms yang merasa menjadi orang tua itu sulit banget? Banyak hal yang kita rencanakan, namun tak berjalan sesuai keinginan. Anak susah makan, susah diatur atau sakit. Belum lagi menghadapi berbagai komentar orang tentang cara kita mendidik dan membesarkan Si Buah Hati. Tidak jarang kita pun merasa tertekan menjalani peran sebagai orang tua. Salah-salah kita pun bisa menjadi stres.
Sebagai ibu yang enggak jauh berbeda dengan Anda, saya pun sering merasa seperti itu. Bahkan saya pernah berada pada titik di mana saya bertanya: "Ngapain sih saya melakukan ini semua?"
Kebanyakan stres yang saya alami disebabkan karena saya terlalu keras terhadap diri sendiri. Mendorong diri secara berlebihan untuk melakukan segala sesuatunya sempurna. Tujuannya tentu saja untuk memuaskan orang lain, entah suami, entah anak-anak bahkan orang lain yang saya enggak kenal. Saat apa yang saya harapkan enggak terjadi, bisa ditebak apa yang terjadi pada diri saya, yup, kecewa, sedih dan merasa inferior!
Anak rewel, saya merasa enggak becus mendidik anak. Anak susah makan, saya menyalahkan kemampuan masak saya yang pas-pasan. Anak sakit, saya menyalahkan diri sendiri karena enggak hati-hati menjaga anak. Orang komentar rumah saya berantakan, saya nyesek merasa kurang rajin.
Hingga beberapa minggu terakhir saya baru selesai membaca sebuah buku dengan tema filsafat yang membuat saya cukup tercerahkan. Biasanya saya tuh paling anti baca buku njelimet. Satu-satunya buku filsafat yang pernah saya baca sebelum ini adalah buku karya Jean-Paul Sartre yang jadi buku wajib zaman kuliah. Itu pun saya lupa judulnya apa. Sampai saya menemukan buku berjudul "Filosofi Teras" karya Henry Manipiring. Dengan embel-embel "bagaimana menjadi bahagia", saya enggak pikir panjang untuk melahap buku ini.
![]() |
Buku filsafat yang cukup asyik dibaca dan mudah dicerna |
Setelah saya baca dan dalami, ternyata filososi teras ini lekat banget dengan kehidupan saya, terutama dalam peran saya menjadi orang tua (yaiyalah... Kan saya emak2😂). Selama saya menjadi orang tua, saya tuh merasa seperti ada beban berat banget di pundak saya. Belakangan saya sadari beban itu terasa karena saya terlalu peduli dengan hal-hal yang sebetulnya enggak bisa saya ubah.
Sebelum bahas lebih lanjut, kita bahas sedikit dulu, yuk, biar nyambung. Apa sih stoisisme atau filosofi teras ini?
Bahagia dengan Stoisisme
Sebetulnya ada batas antara ruang kepedulian dan ruang kekuasaan pada setiap situasi yang kita hadapi. Sayangnya batas ini tipis banget, terkadang kita enggak bisa membedakan mana ruang kepedulian dan mana ruang kekuasaan.
Stoisisme mengajarkan kita untuk fokus pada hal-hal yang menjadi ruang kekuasaan kita dan berhenti peduli dengan hal-hal yang enggak bisa kita ubah.
Berusaha menyediakan menu beragam dengan melihat referensi resep adalah ruang kekuasaan saya, tetapi reaksi anak-anak dan suami saya terhadap rasa masakan saya (mereka suka atau enggak dengan masakan saya) bukan sesuatu yang bisa saya pengaruhi. Membersihkan dan merapikan rumah sebisa saya adalah wilayah kekuasaan saya, tetapi apakah rumah akan tetap rapi lima menit ke depan (sementara duo shaliha asyik kokorotak mainannya di kamar) tentu di luar kuasa saya. Berusaha menerapkan pengasuhan yang baik untuk anak-anak ada dalam kuasa saya. Namun, bagaimana cara pandang orang terhadap gaya pengasuhan saya itu tidak bisa saya ubah.
Itu yang coba diajarkan stoisisme. Untuk menjadi bahagia itu sebenarnya simpel saja, lakukan apa yang bisa kita lakukan. Hasilnya? Enggak perlu kita pusingkan alias nothing to lose saja. Jika hasilnya sesuai dengan harapan, ya... Alhamdulillah, kalau tidak, ya... Life must go on.
Teorinya, semakin sedikit hal yang kita pusingkan, maka semakin bahagia pula kita. Segala sesuatu di dunia ini bergerak sesuai dengan kehendak alam. Kalau dalam islam, kita mengenal konsep tawakal. Dalam stoisisme, kita enggak perlu melawan kehendak alam, karena semakin kita berusaha melawan, kita justru akan semakin enggak bahagia.
Dalam stoisisme juga diajarkan bahwa masalah itu objek, sedangkan persepsi kita terhadap masalah yang kita hadapi adalah tanggung jawab kita. Semua orang bisa mengalami masalah yang sama dengan kita, tapi cara pandang terhadap masalah tersebut bisa berbeda-beda. Intinya, jangan pernah merasa kalau masalah kita tuh berat dan mumet banget, padahal belum tentu masalah kita memang sepenting itu.
Namun, bukan berarti paradigma ini mengajarkan kita untuk duduk pasif ya... Justru kita diajarkan untuk berusaha sebaik-baiknya, tapi enggak perlu pusing dengan gimana hasilnya.
Jeda untuk Reaksi yang Lebih Baik
Buat saya, stoisisme ini bermanfaat banget untuk membuat saya lebih legowo dalam menjalani peran saya sebagai orang tua, terutama saat hal yang tidak diinginkan terjadi. Bahkan menurut buku yang saya baca ini, stoisisme juga bisa diterapkan pada situasi-situasi berat misalnya kehilangan orang yang dicintai.
Menurut stoisisme, saat kita menghadapi situasi yang enggak diharapkan, kita dapat menghadapinya dengan prinsip S-T-A-R (Stop- Think and Assess-Respond).
Misalnya saat anak kita memukul teman sekelasnya. Secara reflek kita mungkin akan langsung menunjukan reaksi negatif terhadap permasalahan tersebut. Entah kita jadi marah pada anak karena perbuatannya, kita bersikap denial dan lebih menyalahkan teman anak kita atau kita malah menyalahkan diri sendiri karena merasa enggak becus mendidik anak.
Dalam stosisme, kita diajarkan untuk enggak buru-buru menilai sebuah situasi. Saat emosi negatif datang, hal pertama yang kita perlu lakukan adalah berhenti (stop). Ini seperti memberikan waktu jeda alias time out pada diri kita.
Kedua kita mulai berpikir dan menilai (think and assess) tentunya ini dilakukan dari beragam sudut pandang. Kira-kira apa yang menyebabkan saya merasakan emosi negatif pada situasi anak saya yang memukul temannya? Pada situasi yang tengah saya hadapi saat ini, apa yang menjadi bagian kekuasaan saya dan apa yang enggak bisa saya ubah?
Dari hasil penilaian itulah, kemudian kita bereaksi (respon). Pastikan bahwa reaksi yang kita munculkan adalah reaksi terhadap hal yang memang menjadi kuasa kita. Jika kita enggak bisa mengubah aspek tersebut, untuk apa dipusingkan?
Misalnya saat anak kita memukul temannya tadi, dari pada marah-marah pada anak atau sedih karena merasa enggak becus sebagai orang tua, lebih baik menggali alasan kenapa anak kita sampai memukul temannya. Apakah ia memukul karena membela diri? Apakah perbuatan itu dilakukan sebagai reaksi dari permasalahan yang ia hadapi di rumah? Atau mungkin ada alasan lain. Kalau sudah ketemu jawabannya, kita bisa fokus pada solusi penyelesaian masalah.
Stoisisme mengajarkan kita untuk fokus dalam memenej emosi dan reaksi kita terhadap masalah yang dihadapi bukan cara untuk menyelesaikan masalahnya.
Menjadi Orang Tua Bahagia dengan Stosisme
![]() |
Menjadi orang tua itu enggak boleh gampang baper, meskipun di sekitar kita banyak banget godaan yang bikin kita sedih atau marah. |
Ada beberapa insight yang saya peroleh dalam menjadi orang tua yang bahagia dengan stoisisme:
- Saya merasa tugas saya adalah menjadi orang tua yang sebaik-baiknya tanpa harus memikirkan apakah anak-anak kelak akan membalas budi pada saya. Karena Allah yang menggenggam hati mereka dan hal yang bisa saya lakukan untuk mereka adalah mendoakan dan mendidik agar mereka menjadi anak yang sholeha dan berbakti kepada orang tua.
- Saya enggak perlu pusing atau tersinggung dengan omongan orang tentang saya dan bagaimana saya mengasuh dan membesarkan anak-anak saya. Toh, bukan kebahagiaan mereka tujuan hidup saya.
- Saat anak saya enggak menunjukan performa seperti yang saya harapkan, saya enggak perlu berkecil hati, karena tugas saya mengajarkan mereka sebaik-baiknya sudah dilakukan. Namun, hasilnya bukan lagi dalam kuasa saya.
- Setiap masalah yang saya hadapi enggak akan permanen. Ada saatnya masalah itu selesai dan kehidupan kembali menjadi tenang.
- Saya enggak perlu bersikap berlebihan saat mengalami masalah, karena bukan hanya saya yang mengalami masalah tersebut.
Menerapkan stoisisme ini tentu bukan hal yang mudah. Namun, bukan berarti enggak bisa dilakukan. Perlu banyak latihan dan pembiasaan, terutama saat menerapkan S-T-A-R.
Buat saya, terasa banget perbedaannya saat saya sadar sepenuhnya dengan reaksi saya. Saat kita enggak reflek bereaksi, kita jauh lebih bisa menilai situasi lebih objektif dan logis. Hal tersebut benar-benar meringankan beban saya dalam menjalani peran menjadi orang tua dan tentu saja memudahkan saya dalam mencari solusi dari permasalahan yang tengah saya hadapi.
Baca juga: CARA BERDAMAI DENGAN DIRI SENDIRI
Banyak masalah yang kita hadapi dalam hidup ini. Di luar sana pun banyak orang menyebalkan yang kurang empati. Pilihan ada pada kita, mau mumet terhadap itu semua atau menikmati hidup tanpa persepsi yang negatif.
makasih sharingnya
BalasHapusSama-sama :)
HapusNice mba. Memang jadi ibu itu harus pintar2 memenej emosi ya. Insya Allah mau nge-praktekin STAR lah. Selama ini kalau ada masalah larinya nyalahin diri sendiri 🙈
BalasHapusSiip... Kayaknya butuh baca detil buku ini nih,hehe.
HapusAsyieeek nich, cara mengulas buku dengan gaya lain♥️ salam kenal mb
BalasHapusSalam kenal juga mbak😉
HapusBEST LAH INI!!! Jangan meletakkan kebahagiaan di tangan olah lain. Berbahagialah dg apa yang dimiliki. manaa yang berada dalaam tkekuasaan kita daan mana yang ada dalam kekuasaan orang lain. WOW WOW WOW... Aku kudu merekomendasikan aetikel ini ke seseorang. Tapi ngambek ga yaa ntar. hehehe
BalasHapusMakasih buanyak artikelnyaaaa
Wkwkwk... Enggak apa-apa lah mbak... Ngambek tinggal dibujukin, hehe😆
HapusSama-sama ya... :)
Saya naru pertama ini loh mbak denger istilah stoisisme. Dan jadi "ooooooh"
BalasHapusIya ya... Istilahnya enggak lumrah. Padahal paradigma ini sdh ada dari zaman yunani kuno, lho...
HapusBetul banget, Mbak. AKu merasa kadang terlalu keras pada diriku sendiri. Ingin semua sempurna, semua berjalan mulus tanpa hambatan. Tapi kan gak mungkin wong yang kita atur juga manusia (anak-anak). Belum algi kita sendiri juga punya limit. Sekarang aku belajar selow ajalah. Ya pokoknya tetap usahakan yang terbaik, tapi nggak menuntut hasilnya. Thanks buat rekomendasi bukunya ya. Kayaknya aku butuh banget nih.
BalasHapusAyo beli bukunya mbak😍😍
HapusAda batas antara ruang kepedulian dan ruang kekuasaan pada setiap situasi yang kita hadapi, ini nih yang sering banget bikin kita kecolongan. Suka dengan gaya nulis referensi bukunya mbak. Betewe, buku itu bisa didapatkan dimana yah? Pengen beli.
BalasHapusTerima kasih... :) bukunya bisa dibeli di gramedia. :)
HapusJadi Stoisisme ini lebih ke usaha kita untuk mengelola diri sendiri ya, Mba. Seperti pepatah, "We can't control what others do, but we can control our reaction." Jadi pengen baca bukunya.
BalasHapusYes! Betul banget mbak. Hayo2 hunting bukunya😍
HapusSaya beberapa waktu lalu liat buku ni di tokbuk, mau beli maju mundur sebab buju yg antre kubaca maaih panjaaang. Terima kasih telah mengulaanya daaan... Alhamdulillah ternyata aku udah lumayan mempraktikkan stoisisme. Hahaha
BalasHapusHehehe... Sama banget mbak, antrian buku mengular😆. Wah... Senangnya kalau sdh terbiasa mempraktikan. Saya sendiri masih latihan. 😁
HapusAaik banget Mbak ulasannya aku jadi kepo deh dan pengen beli bukunya.
BalasHapusAyo hunting bukunya mbak 😍
HapusWah ulasannya lengkap banget Mbak. Jadi penasaran sama buku ini.
BalasHapusIya menurut saya bagus banget sih. Si penulis juga bisa menjelaskan dengan enteng. Biasanya buku filsafat itu kan berat dan njelimet. Ini mah enggak.
HapusMasyaAllah, begitu hebatnya para ibu ya. Harus mampu menambah wawasan dn memanage emosi:)
BalasHapusBetul mbak... What amazing role pokoknya mah! :)
HapusNothing to lose, jd ingat judul drakor. Hihi
BalasHapusSy blkngan jg menerapkan cara ini entah sesuai atau tidak dgn teori stoisismenya, intinya berusaha agar tidak streess, kerjakan apapun sebisanya abaikan penilaian org lain termasuk suami. Gak ada manusia yg sempurna. Hhhe..
Dan yg plg penting tawakkal apapun hasilnya.
Betuuul... Kalau kata Lao Tze, selama masih mendengarkan komentar orang, selamanya kita menjadi tahanan (tsah...)
Hapuskdg kalo anak brbuat sesuatu yg diluar kendali, saya diam itu kadang sy bingung mau ngapain.. ky udah capek aja mau ngomel2.. trnyata itu nsmanya stoisisme.. ada positif effect juga trnyata..
BalasHapusTapi bukan berarti pasrah ya bun, hehe... Ini lebih ke menej emosi. Tujuannya justru agar kita bisa lebih kepala dingin dalam menghadapi permasalahan. :)
Hapus"Saya merasa tugas saya adalah menjadi orang tua yang sebaik-baiknya tanpa harus memikirkan apakah anak-anak kelak akan membalas budi pada saya."
BalasHapusIni ngingetin ajaran Bapak Ibu saya, Mbak. Beliau berdua sering ngomong begini di depan kami.