Zaman masih kuliah dulu, saya termasuk orang yang tidak terlalu mempedulikan dari mana buku yang saya baca berasal. Asal butuh atau suka bukunya dan pas di kantong mahasiswa, saya pasti beli. Saat kuliah dulu memang marak banget praktik memotokopi buku, mulai dari buku kuliah untuk belajar sampai buku populer untuk dibaca saat senggang. Hasil cetakannya pun nyaris tidak bisa dibedakan dengan buku aslinya. Saya mengkategorikan diri saya saat itu sebagai awam atau mungkin kurang peduli saja, sih.
Sampai akhirnya saya mulai "nyemplung" di dunia literasi. Kalau sebelumnya saya hanya menjadi penikmat buku, kini saya mencoba untuk belajar menulis dan menerbitkan buku. Alamak! Ternyata perjuangan untuk menghasil sebuah karya buku saja sangat berdarah-darah (kalau boleh saya lebay mengumpamakan).
Baca juga: BAHU MEMBAHU MEMBANGUN BUDAYA CINTA BUKU
Dari mulai menemukan ide orisinil yang ternyata susah luar biasa. Belum lagi ketika mengolah ide dan menuangkannya menjadi tulisan. Bukan cuma sekadar menuangkan kata, tetapi butuh riset sana-sini. Setelah naskah jadi pun perjuangan masih panjang, yaitu mencari penerbit yang mau meminang naskah saya. Kalau dipikir-pikir, menjadi penulis itu tidak hanya butuh keelokan berbahasa, tetapi juga butuh keuletan dan kesabaran yang tidak terbatas!
Itu baru dari sisi penulis, belum orang-orang yang terlibat dalam proses penerbitan naskah tersebut. Ternyata rendengan prosesnya panjang macam kereta, ada editor, layouter, marketing dan sebagainya. Memangnya menerbitkan buku berkualitas yang laku di pasaran itu mudah? Nyatanya sih tidak.
Membeli Buku Bajakan = Merugikan Banyak Pihak
Kalau sekarang, saya tuh betul-betul memperhatikan tempat saya membeli buku. Khawatir kalau beli di tempat abal-abal, buku yang dijual ternyata buku bajakan. Terdengar remeh padahal, ya? Apa efeknya coba membeli buku bajakan seharga Rp55.000 (misalnya)?
Nyatanya buku bajakan yang kita beli, hasil penjualannya tidak sepeser pun masuk ke kantong orang-orang yang sudah berjuang menerbitkan buku tersebut, termasuk ke kantong penulis kesayangan kita. Bayangkan berapa banyak kerugian yang ditanggung jika banyak orang yang membeli buku bajakan. Saya pernah membaca curhatan salah satu penulis favorit saya, Tere Liye, di media sosial tentang bukunya yang dibajak. Bayangkan saja, ada yang menjual set bukunya (4 buah) seharga Rp76.000 saja! Padahal harga asli satu buah bukunya Rp95.000. Sedih banget saya dengarnya. Padahal banyak penulis yang menggantungkan hidup dari royalty penjualan bukunya. Jadi, membeli buku bajakan sama saja kan dengan kita mencuri hak orang lain.
Kalau Cinta Buku, Kenapa Baca yang Bajakan?
Selain melakukan aktivitas membaca, salah satu bentuk kecintaan terhadap literasi adalah dengan menghargai kerja keras penulisnya. Anda ingin terus membaca karya-karya penulis favorit Anda, kan? Maka, jangan matikan semangat mereka berkarya dengan membeli buku bajakan. Saya sendiri tidak rela membeli buku dari seorang pencuri meski murah, karena membajak sama dengan mencuri. Lebih baik saya berikan uang saya ke orang yang sudah jelas-jelas bekerja keras untuk menghasilkan buku yang saya baca. Insya Allah juga jadi lebih berkah ilmunya :).
Menghentikan Pembajakan Buku dengan Tidak Membelinya
Sesuai hukum ekonomi, ada supply (penawaran) karena ada demand (permintaan). Maraknya buku bajakan, tentunya juga didorong karena banyak permintaan pasar terhadap buku murah. Memang untuk beberapa orang (termasuk saya), untuk memuaskan hobi membaca perlu sedikit putar otak. Untuk membeli buku perlu pikir beberapa kali karena harus berhemat. Lalu, bagaimana dong solusinya?
Memuaskan hobi baca buku kan bisa dengan banyak cara, misalnya:
- Dengan meminjam di perpustakaan. Bagi saya, membaca buku tidak harus memiliki buku. Saya sendiri tidak selalu membeli buku yang saya baca. Biasanya saya pinjam melalui perpustakaan, baik perpustakaan online maupun offline. Koleksinya juga tidak kalah anyar, kok.
- Dengan memanfaatkan diskon toko buku. Ada kalanya saya merasa ingin membeli buku, karena merasa buku tersebut perlu banget saya miliki. Maksudnya supaya saya bisa membacanya berulang kali. Biasanya ada beberapa buku yang saya incar dalam satu waktu. Supaya kantong tidak bolong, ya... manfaatkan diskon dong! Hehe. Seperti sekarang yang sedang ada diskon di Mizan Store. Tidak hanya buku-buku terbitan Mizan, tetapi juga buku dari berbagai penerbit diskon hingga 80%! Untuk membeli buku-buku Mizan pun lebih mudah dan murah karena gratis ongkos kirim ke seluruh Indonesia, tinggal pesan online dan buku favorit Anda akan tiba di depan rumah.
- Ikut kuis atau giveaway. Kalau tidak mau atau tidak bisa mengeluarkan uang untuk beli buku, bisa juga ikut kuis berhadiah voucher belanja buku atau hadiah buku. Sah-sah saja sih menurut saya ikutan kuis begini. Tinggal dibawa senang saja, kalau menang syukur, kalau tidak, coba lagi di lain kesempatan,hehe.
Intinya, masih banyak kok jalan yang bisa ditempuh untuk menikmati buku murah selain dengan membeli bajakan. Kalau kita cinta, harusnya tidak merugikan pihak yang kita cintai, dong. Sama seperti saat kita suka dengan karya-karya penulis kesayangan kita, masa tega sih mematikan semangat berkarya mereka dengan beli buku bajakan. Mulai sekarang, stop beli buku bajakan!
Artikel ini diikutsertakan dalam Mizan Blog and Vlog Competition.
Nah, setuju!
BalasHapusSaya lebih memilih menabung lebih lama untuk mendapatkan buku ori daripada bajakan. Kalau bisa malah inginnya membeli langsung dari penulisnya. Lebih personal.